Peran Hidrogen dalam Sistem Energi Nasional untuk Mencapai Target Net Zero Emission (NZE)

Peran Hidrogen dalam Sistem Energi Nasional untuk Mencapai Target Net Zero Emission (NZE)

(Arif Darmawan)

Aksi penanggulangan perubahan iklim adalah komitmen terpenting yang bisa kita lakukan sebagai suatu komunitas yang bergerak di bidang energi khususnya hidrogen. Kita telah menyaksikan krisis iklim telah berdampak pada orang-orang yang ada di sekeliling kita. Berbagai upaya diperlukan untuk memastikan bahwa langkah-langkah mitigasi berkelanjutan dan dapat difokuskan pada penelitian dan inovasi. Selain itu, transformasi menuju energi baru dan terbarukan, serta percepatan ekonomi berbasis teknologi hijau akan menjadi perubahan besar dalam perekonomian. Hal ini sejalan dengan komitmen Pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, sebagaimana tertuang dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Dalam dokumen NDC, Indonesia menargetkan penurunan emisi hingga 29% dengan upaya sendiri atau hingga 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030 nanti. Berbagai kebijakan dilakukan untuk memastikan agar target ini dapat direalisasikan. Pemerintah juga secara serius ingin mewujudkan komitmen net zero emission (NZE) pada tahun 2060. Beberapa Langkah-langkah kebijakan juga tengah disusun termasuk roadmap untuk merelisasikan NZE demi menghadapi berbagai tantangan serta risiko perubahan iklim di masa mendatang. Skenario Net Zero Emission (NZE) yang dicanangkan pemerintah Indonesia dilakukan atas dasar komitmen global yang terangkum dalam target Paris Agreement dan komitmen pemerintah pada sektor energi. Dalam upaya mendukung pencapaian NZE, perlu disusun strategi kebijakan yang sistematis.

Dalam upaca mencapai target-target di atas, hidrogen perlu memainkan peran penting dalam transisi ke sistem energi NZE, dan beberapa kali disinggung dan ditunjukkan dalam roadmad hingga 2060. Permintaan hidrogen akan diproyeksikan naik dan lebih massif pada 2060 dan penggunaannya perlu diperluas ke sektor-sektor baru, termasuk transportasi jarak jauh, perkapalan, penerbangan, penggunaan baru di industri berat atau pembangkit listrik. Ketertarikan pada hidrogen telah tumbuh dalam beberapa tahun terakhir tetapi, berbeda dengan masa lalu, momentum kali ini berubah menjadi tindakan yang lebih nyata. Kemajuan di dunia juga telah mencapai kecepatan yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Dalam konteks ini, Indonesia perlu secara serius mendukung dan mengimplentasikan sistem energi berbasis hidrogen di berbagai sector.

Hidrogen adalah unsur paling sederhana dan terkecil dalam tabel periodik. Tidak peduli bagaimana itu diproduksi, pada titik penggunaan akan menghasilkan sistem yang bebas karbon. Namun, jalur untuk memproduksinya sangat beragam, begitu pula emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4). Green hydrogen didefinisikan sebagai hidrogen yang dihasilkan dengan memisahkan air menjadi hidrogen dan oksigen menggunakan listrik terbarukan. Ini adalah jalur yang sangat berbeda dibandingkan dengan grey dan blue hydrogen. Grey hydrogen secara tradisional dihasilkan dari metana (CH4), dipecah dengan uap menjadi CO2 dan H2. Grey hydrogen juga semakin banyak diproduksi dari batu bara, dengan emisi CO2 yang jauh lebih tinggi per unit hidrogen yang dihasilkan, sehingga sering disebut brown atau black hydrogen. Blue hydrogen mengikuti proses yang sama seperti grey hydrigen, dengan teknologi tambahan yang diperlukan untuk menangkap CO2 yang dihasilkan ketika hidrogen dipisahkan dari metana (atau dari batu bara) dan menyimpannya untuk jangka panjang. Ini bukan satu warna melainkan gradasi yang sangat luas, karena tidak 100% CO2 yang dihasilkan dapat ditangkap, dan tidak semua cara menyimpannya sama efektifnya dalam jangka panjang. Poin utamanya adalah menangkap sebagian besar CO2, dampak iklim dari produksi hidrogen dapat dikurangi secara signifikan.

Ada juga teknologi yaitu pirolisis metana yang menjanjikan tingkat penangkapan yang tinggi (90-95%) dan penyimpanan jangka panjang yang efektif dari CO2 dalam bentuk padat, berpotensi jauh lebih baik daripada blue hydrogen sehingga mereka layak mendapatkan warna mereka sendiri dalam “taksonomi hidrogen pelangi”, hidrogen pirus. Namun, pirolisis metana masih dalam tahap uji coba, sementara green hydrogen meningkat pesat berdasarkan dua teknologi utama – tenaga terbarukan (khususnya dari PV surya dan angin) dan elektrolisis. Tidak seperti energi terbarukan, yang merupakan sumber listrik termurah di sebagian besar negara, elektrolisis untuk produksi green hydrogen perlu ditingkatkan secara signifikan dan mengurangi biayanya setidaknya tiga kali lipat selama satu atau dua dekade mendatang. Namun begitu, tidak seperti CCS dan pirolisis metana, saat ini elektrolisis telah tersedia secara komersial dan dapat diperoleh dari beberapa pemasok internasional.

Referensi

  1. https://theprint.in/environment/the-world-has-a-new-path-to-sustainable-energy-and-net-zero-emissions-green-hydrogen/792958/
  2. https://ppsdmaparatur.esdm.go.id/seputar-ppsdma/berkenalan-dengan-net-zero-emission

https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/siaran-pers/siaran-pers-kepada-dunia-pemerintah-sampaikan-komitmen-pendanaan-transisi-energi-hijau/

Similar Posts